Jumat, 22 Mei 2015

Dua Dosa


Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Telepon berdering lima kali sebelum akhirnya hening. Biasanya aku selalu buru-buru mengangkat telepon entah nomor si pemanggil asing atau tidak. Karena sebagian besar panggilan adalah uang. Rejeki yang mesti dikais selembar demi selembar.
Tapi aku tak berhasil mengangkatnya.
Kulipat mukena dan sajadah sebelum menghampiri meja nakas. Memeriksa ponsel untuk memastikan identitas si penelepon. Hasilnya nihil. Kutengok jam dinding yang menunjukkan waktu pukul satu dini hari. Gelenyar asing meremas dadaku.
Firasat buruk.
Kabar apa yang hendak disampaikan si penelepon di waktu seganjil ini? Hanya kabar buruk yang mendesak seseorang untuk mengirim kabar tanpa peduli waktu.
Aku ingat saat nenek meninggal, ponselku berdering jam sebelas malam. Saat ayah mertuaku meninggal, ponsel suamiku berdering jam empat pagi.
Kupegang ponselku erat sambil menatap suamiku yang mendengkur pertanda tidurnya sungguh lelap. Ia pastinya lelah, aku tak tega mengusik tidurnya. Toh ini hanya rasa takut tak beralasan.
Ponselku masih diam. Tidak ada panggilan ulang. Panggilan itu mungkin tak terlalu penting.
Dengan pemikiran itu aku tetap saja menyeret langkah ke kamar mandi. Tak lupa kuambil gunting dari laci meja. Tetap firasat tak enak itu yang menggantung di ruang jantungku.
Aku meraih ujung rambut di kening dan mengguntingnya. Membuangnya di wastafel kemudian mengalirkan air. Kusaksikan potongan rambut itu berputar-putar terbawa pusaran air dan menghilang.
Buang sial.
Kata orang tua dulu begitu. Meski aku sendiri tahu ini hanya upaya untuk menentramkan hati. Jika setiap kesialan benar-benar bisa ditolak manusia tidak akan memaknai keberuntungan.
Tepat saat aku mematikan keran, ponselku kembali berbunyi. Nomor tak dikenal yang sama!
"Hallo?" Sapaku sambil berdebar-debar, kusadari ada getar dalam nada suaraku.
"Manis…"
"Ba…Bapak?" Terbata kuucapkan nama itu.
"Ya, apa kabar, Nis?" Suaranya masih sama, berat berwibawa. Bengis. Tak mau dikompromi.
Spontan aku mematikan sambungan telepon. Ya Tuhan, apa aku jadi anak durhaka karena memutus pembicaraan dengan Bapak? Tapi aku takut.
Ketakutan dan kecemasan itu bercokol di dalam hatiku sepanjang pagi. Celakanya ucapan suamiku memperparah keadaan.
"Bapak sudah telepon kamu, Nis?" Tanya suamiku di meja sarapan.
Aku terhenyak. Sejak kapan suamiku jadi dukun? Atau semalam dia sebenarnya tidak tidur.
"Bapak ke sini kemarin. Kamu sedang keluar ngerokin Budhe Mur. Kami ngobrol sebentar. Bapak nggak minta apa-apa cuma ngaruhke. Silaturahmi."
"Mas yang ngasih nomor ponselku?" Tuduhku yang aku yakini kebenarannya.
"Ya. Bapak mau bicara sama kamu. Nanti Bapak mau ke sini lagi jam sembilan pagi."
"Buat apa?"
"Loh kok buat apa? Ya buat ketemu anaknya yang paling manis ini kan?"
Aku cemberut pada usahanya menggodaku. Urusan dengan Bapak bukan urusan main-main. Kok Mas Angger bisa-bisanya mempersilakan Bapak dengan mudah.
"Sejak kapan Bapak keluar dari penjara?"
"Sepertinya bulan lalu. Meski kasus pembunuhan tapi hukuman Bapak termasuk ringan."
"Pengacaranya yang bagus."
"Kok nadamu ketus begitu? Itu bapakmu, Nis. Masih untung kamu punya Bapak, mau bapakmu meninggal seperti bapakku?" Mas Angger menatapku tajam.
"Biar saja."
"Nis!"
Aku melengos mendengar nada marah Mas Angger. Tuh kan baru muncul saja Bapak sudah bikin geger antara aku dan Mas Angger.
Maka sekarang di sinilah aku. Duduk berhadapan dengan Bapak di ruang tamuku. Bapak tetap saja Bapak. Janji jam sembilan, datang tepat jam sembilan. Dulu aku mengagumi ketepatan waktunya. Hal yang menurutku jarang dilakukan kaum lelaki. Tapi kalau dipikir aku mengagumi segala hal dalam diri Bapak. Memuja Bapak.  Memuja rasa takutku terhadapnya.
"Nggak pergi ngerokin, Nis?" Tanya Bapak.
"Lha kan Bapak di sini? Semua janji aku batalkan. Beberapa ada yang mau diganti pijat sama Mas Angger."
Semula cuma Mas Angger yang jadi tukang pijat. Tapi aku memaksa ikut terjun dalam usaha itu. Karena aku cemburu kalau ada perempuan minta dipijat Mas Angger. Jadi kami membagi dua klien. Mas Angger pijat khusus pria, aku pijat dan kerik untuk klien perempuan. Jadi kami tidak kehilangan pemasukan dan tidak berpotensi selingkuh. Tadinya itu anggapan kami.
"Bapak keluar penjara sebulan lalu. Sengaja tidak langsung ke sini. Sudah beberapa tahun kamu nggak menjenguk Bapak, jadi Bapak pikir kamu nggak mau ketemu. Sekarang Bapak jaga malam di sekolah, makanya Bapak telepon kamu malam-malam. Bapak pinjam telepon kantor. Bapak tahu kamu selalu sholat tahajud jam satu pagi. Sudah kebiasaanmu sejak SMA."
Aku meneguk ludah mendengar cerita Bapak. Merasa bersalah. Dulu ketika awal Bapak masuk penjara, aku selalu berkunjung sebulan sekali, lama-lama hanya tiap lebaran. Lalu sama sekali tidak datang. Anak macam apa aku ini? Bapak keluar penjara pun aku tak tahu. Tapi aku sudah lelah membilang hari.
"Bapak kemari cuma mau nengok. Syukur kalau keadaanmu dan suamimu baik-baik saja. Bapak sadar kedatangan Bapak membuatmu takut, tapi itu tidak perlu. Sampai Bapak mati Bapak tetap akan menjaga rahasia ini."
Saat hal itu disinggung, luruh sudah rasa takut dan cemasku. Air mata yang kutahan sejak tadi tak terbendung lagi. Menderas seiring simpuhku di hadapan Bapak. Kupeluk tubuh yang tak kehilangan ketegapannya meski bertahun-tahun dalam penjara. Aku menangis. Tersedu. Terguguk.
Rasa bersalahku makin menjadi-jadi. Aku menghindari Bapak, tak mau lagi menjenguk karena aku takut menghadapi perasaan ini. Perasaan bersalah setiap memandang wajah Bapak. Aku yang tadinya menanti kebebasan Bapak, berubah menjadi cemas saat hitungan tahun berganti hitungan hari.
Fragmen-fragmen berputar dalam kepalaku sementara Bapak memelukku.
Delapan tahun lalu saat aku tahu ada perempuan lain yang mengejar-ngejar Mas Angger, aku mengadu pada Bapak. Aku menangis dan mengumpati perempuan itu.
Secara terang-terangan ia minta dipijat Mas Angger setiap hari.
"Minta pijat kok tiap hari! Memangnya dia kuli panggul pasar?!" Protesku pada Mas Angger saat itu.
"Ya dia kan capek, Nis."
"Capek apa? Capek ngerayu kamu?"
Mas Angger terkekeh. "Ngerayu apa? Kalau aku gagah, tinggi, cakep, kaya tentunya wajar dirayu. Lha aku ini pendek, gempal, jelek suami orang lagi, masak masih laku?"
Aku melotot. "Ah alasan! Mas Angger juga suka kan dirayu-rayu?"
"Suka. Kalau kamu yang merayu."
"Gombal!"
Mas Angger tidak pernah mengaku. Pun tidak pernah membantah. Rasa marahku mendidih. Hingga pada suatu malam saat aku bersama Bapak berjalan pulang aku melihat Mas Angger keluar dari rumah perempuan itu. Aku kalap.
Aku datangi perempuan itu meski Bapak mencegah. Ia menyambut aku dan Bapak dengan senyum sinis. Kami adu mulut dan bertengkar hingga aku gelap mata dan memukul kepalanya dengan gagang lampu meja.
Perempuan itu jatuh. Tergeletak diam.
Kepanikan bagai iblis yang mengancamku untuk menjerit.Bapaklah yang dengan sigap mengambil gagang kayu dari tanganku. Diambilnya sapu tangan dari saku celananya, dan dengan tenang ia berkata, "Manis, pulang! Biar ini jadi urusan Bapak."
Tanpa diperintah dua kali aku berlari keluar. Berlari dan terus berlari hingga aku sadar aku bisa menimbulkan kecurigaan. Apapun rencana Bapak aku tak mau menggagalkannya. Jadi aku memperlambat langkah dan berjalan pulang. Tenang. Seolah tak terjadi apa-apa.
Bapak ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman. Aku ada di sana, menyaksikan Bapak menanggung dosaku.
"Manis," suara Bapak membuyarkan ingatan delapan tahun lalu. "Bapakmu ini kuat. Di dunia ini Bapak bisa menggantikanmu menerima hukuman, tapi di alam nanti Bapak tidak bisa berbuat apa-apa. Kau sendiri yang menanggung dosamu. Kau tahu itu? Kau siap?"
Aku mengangguk di antara isakan. "Hari itu aku membuat dua dosa, Pak. Satu, karena telah membunuh orang lain. Dua, karena telah membuat Bapakku yang kucintai dan mencitaiku memikul kesalahanku. Kurasa dosa yang kedualah yang tak tertanggungkan."
Tangisku kembali meledak dan kami berangkulan erat. (.)
Cerpen ini diikutkan dalam giveaway di blog Mandewi


Catatan: repost dari my another blog: kendengpanali.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar